SMK Swasta Muhammadiyah 11 Sibuluan

Loading

Dakwah Muhammadiyah di Era Big Data

Without big data, you are blind and deaf in the middle of a freeway.” —Geoffrey Moore

Menurut pakar manajemen terkemuka asal Amerika Serikat, Geoffrey Moore, mustahil bagi sebuah perusahaan atau organisasi besar bisa bertahan dan berkembang tanpa kesadaran untuk mengelola ‘big data’. Tanpa itu, menurut Moore, kita seperti berkendara di tengah jalan tol dalam keadaan buta dan tuli. Barangkali kita bisa terus berjalan memacu kendaraan, tetapi kita hanya bisa meraba-raba saja, dan tinggal menunggu waktu untuk tabrakan atau jatuh ke jurang!

Menyadari hal itu, Muhammadiyah bergerak cepat. Sebagai organisasi modern berbasis agama terbesar di dunia, Muhammadiyah akan menjadi yang pertama memiliki pusat pengelolaan ‘big data’ yang terintegrasi dengan pusat dakwah berbasis ‘media baru’—konvergensi antara media digital dan internet. Sesuai dengan spirit ‘Islam Berkemajuan’ yang digaungkannya, Muhammadiyah akan menjadi organisasi Islam yang terdepan mengembangkan ‘integrated big data management’. Hal ini yang menjadi amanat Haedar Nashir, ketua PP Muhammadiyah, dalam rapat terbatas rencana pembentukan Pusat Manajemen Big Data dan Dakwah Digital tersebut, Kamis lalu (7/6) di Yogyakarta.

Big data’ dan ‘media baru’ adalah lisan generasi ‘zaman now’. Jika Nabi berpesan untuk berdakwah sesuai lisan kaumnya (bi lisani qaumihi), maka bisa dipahami bahwa di era ini semua lembaga dakwah perlu menguasai big data dan mengendalikan ‘narasi’ media digital agar bisa diterima sesuai dengan nafas zaman. Esensinya tidak berubah, namun eksistensinya yang berusaha mengejar bentuk dan menyesuaikan diri.

Dengan memiliki database kompleks yang merekam serta menggambarkan bulat-lonjong ‘jamaah’-nya, Muhammadiyah akan lebih leluasa dalam menentukan langkah-langkah organisasional maupun strategisnya. Terlebih jika database dalam skala besar itu bisa diolah sedemikian rupa sehingga mampu melacak peta demografi dan psikografi warga Muhammadiyah hingga ke level ranting, dikelompokkan kebutuhan-kebutuhannya, dan pada gilirannya berbagai informasi yang diperoleh secara ‘realtime’ itu dikonversi menjadi rumusan solusi yang keluar detik itu juga. Itulah kecanggihan fungsi big data.

Data mengenai ribuan sekolah dan universitas, belasan ribu amal usaha, ratusan ribu turunan program ortom, hingga jutaan kader dan jamaah, terkumpul di satu tempat dan bisa dimonitor, dianalisis, bahkan diprediksi pergerakannya-pergerakannya. Tentu semua itu akan menjadi modal besar bagi organisasi ini. Bayangkan misalnya kelak Muhammadiyah bisa merancang platform e-commercenya sendiri, mengembangkan ‘fintech’ berbasis kartu anggota Muhammadiyah yang dintegrasikan dengan sistem ‘e-money’ dengan aneka fasilitas di dalamnya, dan seturusnya.

Untuk kebutuhan dakwahnya, dengan big data ini Muhammadiyah juga bisa menentukan mulai dari isu, tema, hingga ‘timing’ sesuai kondisi jamaah yang akan disasarnya di berbagai daerah. Dengan aneka dataset yang sama, yang diolah dan dianalisis sedemikian rupa tadi, Muhammadiyah juga bisa melakukan maksimalisasi terhadap aneka potensi berbagai amal usaha yang dimilikinya. Di waktu bersamaan, big data ini juga akan berguna untuk mitigasi bencana, manajemen resiko, hingga distribusi ZIS yang dikelola organisasi ini. Menarik, bukan?

Dakwah Digital Buat Milenial

Saat ini data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk berusia 15-45 tahun berkisar 40-an persen dari total populasi penduduk. Artinya, setengah dari penduduk Indonesia bisa dikategorikan sebagai generasi milenial (atau paling tidak xenial). Masuk akal jika narasi-narasi besar yang mengendalikan spirit bangsa ini adalah segala hal yang disukai milenial, dengan media sosial sebagai ruang gerak utama sekaligus medan percakapannya.

Bukan sekadar segalanya serba digital, terpenting adalah semangat yang menjadi fondasi bagi generasi zaman ini: Inovasi, kolaborasi, distribusi kuasa dan nilai (powers and values distribution). Muhammadiyah perlu menggerakkan dakwahnya dengan spirit itu, terutama dalam hal strategi, pola dan pendekatan.

Konten-konten dakwah perlu dikemas sedemikian rupa sehingga mudah diterima, didistribusikan, serta di-‘daur ulang’ oleh jamaah milenial tadi. Kata ‘daur ulang’ (recycle) menjadi penting dalam hal ini, karena konten-konten itu harus bisa menjadi ‘milik semua’ (creative common) agar memiliki daya viral yang alamiah.

Konten-konten itu tidak perlu diproduksi di satu ‘pabrik’ saja, sebab milenial pada dasarnya tidak menyukai materi-materi yang didistribusikan dari pusat kuasa yang tunggal—selain jumlahnya juga pasti akan terbatas. Mereka lebih memerlukan ‘hub of knowledge’, tempat bertemu dan meleburnya aneka gagasan dan interpretasi, di mana mereka diberi ruang serta peluang untuk memilih dan memilahnya sendiri.

Artinya, pusat dakwah milenial Muhammadiyah ini tidak bisa hanya diposisikan sebagai ‘production house’ saja, tetapi ia juga harus bisa menjadi ‘hub’ yang mengagregasi segala bentuk konten yang diproduksi warga Muhammadiyah. Kelak konten-konten itulah yang akan menggerakkan narasi dakwah milenial Muhammadiyah, organisasi hanya berfungsi menetapkan batas-batas demarkasinya, ‘rules of the game’-nya, GBHN-nya.

Bahwa ada konten-konten tertentu yang diproduksi di pusat dakwah untuk milenial ini, iya, tetapi tidak semuanya perlu diproduksi di sana. Bayangkan berapa dana, waktu, SDM yang diperlukan jika media sosial tidak punya karakter ‘user generated content’? Selain tentu juga tidak akan menarik jika konten diproduksi hanya oleh segelintir orang dan dari satu pusat saja.

Ruang Kolaborasi

Dari mana semua ini harus dimulai dan bagaimana memulainya? Saya kira Muhammadiyah sudah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mewujudkan semua ini. Para ahli dan pakar di bidang teknologi informasi, media, hingga manajemen bertebaran di aneka perguruan tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Kita bisa memulainya dari sana. Para ahli dikumpulkan dan dibentuk pola kolaborasinya untuk mewujudkan semua imajinasi ini.

Dalam hal infrastruktur teknologi, Muhammadiyah juga tidak perlu mengerjakan semuanya sendirian dari nol. Berbagai kerjasama bisa dijalin dengan berbagai perusahaan teknologi terkemuka untuk mewujudkan semua ini, dengan sistem ‘benefit sharing’ yang bisa dirumuskan bentuk kerjasamanya, tentu saja.

Termasuk untuk memulai strategi dakwah milenial dalam rangka membangun ‘narasi’ tadi, terdekat bisa dilakukan sistem sindikasi, ‘content sharing’, atau ‘crossposting’ bersama berbagai media yang punya afiliasi dengan Muhammadiyah. Sambil dirumuskan rencana melibatkan sebanyak mungkin warga Muhammadiyah agar terlibat dalam rencana ‘user generated content’ dakwah seperti saya ceritakan sebelumnya. Dengan begini, Muhammadiyah akan menjadi pusat dakwah pertama di dunia yang punya karakter ‘open source’ yang kuat.

Akhirnya, tunggu apa lagi? Kita tak kekurangan apapun untuk membumikan imajinasi ini.

Tabik!

FAHD PAHDEPIE, direktur eksekutif Digitroops Indonesia, peraih 2018 UMY Alumni Award dan 2017 Australia Alumni Award.

Tinggalkan Balasan