SMK Swasta Muhammadiyah 11 Sibuluan

Loading

Pembelajaran Scaffolding untuk Kesuksesan Belajar Siswa

20130216-113012Di kalangan masyarakat awam, istilah scaffolding atau perancah tampaknya lebih dipahami sebagai sebuah istilah yang berhubungan teknik konstruksi bangunan, yaitu upaya memasang susunan bambu/kayu balok/besi sebagai tumpuan sementara ketika sedang membangun sebuah bangunan, khususnya bangunan dalam konstruksi beton. Ketika konstruksi beton dianggap sudah mampu berdiri kokoh, maka susunan bambu/kayu balok/besi itu pun akan dicabut kembali. Dalam konteks pembelajaran, penggunaan istilah scaffolding atau perancah ini tampaknya bisa dianggap relatif baru dan semakin populer bersamaan dengan munculnya gagasan pembelajaran aktif yang berorientasi pada teori belajar konstruktivisme yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky, sang pelopor Konstruktivisme Sosial.

Secara sederhana, pembelajaran scaffolding dapat diartikan sebagai suatu teknik pemberian dukungan belajar secara terstruktur, yang dilakukan pada tahap awal untuk mendorong siswa agar dapat belajar secara mandiri. Pemberian dukungan belajar ini tidak dilakukan secara terus menerus, tetapi seiring dengan terjadinya peningkatan kemampuan siswa, secara berangsur-angsur guru harus mengurangi dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri. Jika siswa belum mampu men­­ca­pai kemandirian dalam belajarnya, guru kembali ke sistem dukungan untuk mem­bantu siswa memperoleh kemajuan sampai me­reka benar-benar mampu mencapai kemandirian. Dengan demikian, esensi dan prinsip kerjanya tampaknya tidak jauh berbeda dengan scaffolding dalam konteks mendirikan sebuah bangunan. Pembelajaran Scaffolding sebagai sebuah teknik bantuan belajar (assisted-learning) dapat dilakukan pada saat siswa merencanakan, melaksanakan dan merefleksi tugas-tugas belajarnya.

Jamie McKenzie mengemukakan 8 (delapan) karakteristik pembelajaran scaffolding: (1) provides clear directions; (2) clarifies purpose; (3) keeps students on task; (3) offers assessment to clarify expectations; (4) points students to worthy sources; (5) reduces uncertainty, surprise and disappointment; (6) delivers efficiency; (5) creates momentum.

Secara operasional, pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut:

  • Melaksanakan asesmen kemampuaan awal dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukan Zone of Proximal Development (ZPD), yakni wilayah perkembangan siswa yang masih berpotensi dan berpeluang untuk ditingkatkan dan dioptimalkan melalui bantuan guru, teman, atau lingkungan pembelajaran tertentu, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi .
  • Menjabarkan tugas-tugas dan aktivitas belajar secara rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona yang perlu di-scaffold.
  • Menyajikan struktur/tugas belajar secara jelas dan bertahap sesuai taraf perkembangan sis­wa, yang dapat dilakukan melalui: penjelasan, dorongan (mo­tivasi), dan pembe­rian contoh (modeling).
  • Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.

Sementara itu, Applebee dan Langer mengidentifikasi 5 (lima) langkah pembelajaran scaffolding yaitu:

  • Intentionally; mengelompokkan bagian kompleks yang hendak dikuasai siswa menjadi beberapa bagian yang spesifik dan jelas dan merupakan satu kesatuan yang utuh untuk mencapai kompetensi secara utuh.
  • Appropriateness; memfokuskan pada pemberian bantuan pada aspek-aspek yang belum dikuasai siswa secara maksimal.
  • Structure; memberikan model agar siswa dapat belajar dari model yang ditampilkan. Model tersebut dapat diberikan melalui proses berfikir, diverbalkan dalam kata-kata, atau melalui perbuatan. Kemudian, siswa diminta untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari dari model tersebut.
  • Collaboration; melakukan kolaborasi dan memberikan respons terhadap tugas yang dikerjakan siswa.
  • Internalization: memantapkan pemilikan pengetahuan yang dimiliki siswa agar dikuasainya dengan baik dan menjadi bagian dari dirinya.

Dari langkah-langkah tersebut, inti pembelajaran scaffolding sesungguhnya terletak pada tahap structure dan tingkat kesuksesan penerapannya akan banyak ditentukan dari penentuan Zone of Proximal Development yang akan dibantu.

Di lain pihak, Alibali (2006) memberikan saran yang lebih teknis terkait dengan penerapan pembelajaran scaffolding, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

Advance organizer
Alat yang digunakan untuk memperkenalkan materi dan tugas baru guna membantu siswa mempelajari suatu topik: diagram Venn untuk membandingkan informasi secara kontras, diagram alir untuk menggambarkan proses, bagan organisasi untuk menggambarkan hierarki, mnemonik untuk membantu mengingat, rubrik yang menyediakan tugas-tugas yang diharapkan.

Cue Cards
Kartu yang telah disiapkan untuk dibagikan kepada siswa/kelompok siswa ketika akan mendiskusikan suatu topik tertentu. Kartu tersebut memuat kosakata (istilah-istilah penting) yang perlu dipahami, kalimat-kalimat dasar tentang materi yang harus dilengkapi siswa, rumus-rumus.

Concept and mind maps
Peta konsep atau peta pikiran yang dibuat siswa berdasarkan pengetahuan dimilikinya.

Examples
Menyediakan contoh, specimen, ilustrasi, masalah-masalah (pertanyaan).

Explanations
Menyediakan informasi lebih rinci dalam bentuk instruksi tertulis tentang tugas-tugas yang harus dilakukan siswa, memberikan penjelasan lisan tentang bagaimana proses kerja.

Handouts
Menyediakan handout yang berisi tugas dan informasi yang terkait dengan materi, disertai dengan ruang (kolom) komentar atau catatan bagi siswa.

Hints
Memberi saran dan petunjuk untuk mengalihkan langkah-langkah siswa” lihat halaman 31!”, “tekan tombol escape!”. lanjutkan ke halaman berikutnya”.

Prompts
Memberi isyarat fisik (gesture) atau verbal untuk membantu mengingat pengetahuan sebelumnya atau asumsi yang telah dimiliki siswa. Fisik: gerakan tubuh seperti menunjuk, mengangguk kepala, berkedip. Verbal: “Ayo!”, “Lanjutkan!”, “Ceritakan kepada saya!”, “Apa yang akan Anda lakukan! ”, “Apa pendapat Anda tentang hal itu?”

Question Cards
Menyediakan kartu yang memuat pertanyaan seputar materi yang diajarkan atau tugas-tugas khusus yang diberikan kepada siswa/kelompok siswa untuk saling bertanya dan menjawab tentang materi yang diajarkan.

Question Stems
Kalimat tidak lengkap yang yang harus diselesaikan guna mendorong siswa berfikir lebih mendalam dengan menggunakan perintah kalimat tanya “Apa yang terjadi jika…. (What if…)

Stories
Menceritakan materi yang kompleks dan abstrak ke dalam situasi yang lebih akrab dengan siswa untuk menginspirasi dan memotivasi siswa.

Visual Scaffolds
Menekankan perhatian tentang suatu objek, melalui gerakan tubuh (gesture) yang relevan; menyediakan diagram dan grafik, menggunakan metode highlighting informasi visual (huruf miring, warna yang berbeda, huruf tebal, kedip).

Jika kita berpegang pada Permendikbud No.65/2013 tentang Standar Proses Pembelajaran, yang di dalamnya mengisyaratkan tentang pentingnya penerapan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, maka penguasaan guru tentang Pembelajaran Scaffolding ini tampaknya menjadi penting agar siswa dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Sumber

Tipe Guru dalam Mendisiplinkan Siswa

disipllinDisiplin kelas, tata tertib kelas, pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya, merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang kondusif.

Sebagai agen sosialisasi (socialization agent), guru hendaknya membelajarkan siswa tentang berbagai perilaku yang sesuai dengan tuntutan situasi. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa, guru menyampaikan berbagai pesan kepada siswa agar dapat berperilaku sesuai dengan situasi yang diharapkan di kelas.

Terdapat 4 (empat) hal penting untuk mencapai kesuksesan di kelas:

  1. Guru perlu merencanakan secara matang pendekatan individual dalam mendisiplinkan siswa.
  2. Guru harus memahami secara baik berbagai teori disiplin, beserta asumsi yang mendasarinya.
  3. Guru memahami nilai-nilai dan filsafat pendidikan yang diyakininya.
  4. Guru harus mampu menentukan pendekatan disiplin yang sejalan dengan keyakinan siswanya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan siswa dan konflik personal.

Sesungguhnya, banyak teori tentang disiplin yang bisa kita terapkan, salah-satunya adalah teori Inner Discipline yang digagas oleh Barbara Coloroso. Dalam upaya mendisiplinkan siswa di kelas (sekolah), Coloroso mengemukakan 3 (tiga) kategori guru (dalam tulisan ini saya menggunakan istilah tipe guru), yaitu: (1) Brickwall Teacher (Guru Tembok Bata); (2) Jellyfish Teacher (Guru Ubur-ubur); dan (3) Backbone Teacher (Guru Tulang Punggung). Berikut ini disampaikan penjelasan singkat dari ketiga tipe tersebut:

  1. Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher). Guru tipe ini berusaha membatasi dan mengendalikan siswa secara ketat, menganggap siswa sebagai bawahan dan kerap menghina siswa. Disini tidak ada wilayah abu-abu, yang ada hanyalah dikhotomi antara hitam dan putih. Guru tipe ini mengoperasikan tugas dalam suasana ketakutan, melalui aturan tetap dan kaku, menekankan ketepatan waktu, kebersihan dan ketertiban. Dalam proses pembelajaran sering mematahkan kehendak siswa, menekankan ritual dan hafalan, lebih mengandalkan pada kompetisi dan mengajarkan tentang apa yang harus dipikirkan daripada bagaimana berpikir (what to think rather than how to think). Guru Tembok Bata (Brickwall Teacher) kurang memberi kepercayaan kepada siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya.
  2. Guru Ubur-ubur (Jellyfish Teacher). Berbanding terbalik dengan Guru Tembok Bata, guru tipe yang kedua ini sama sekali tidak memiliki ketegasan dan cenderung lemah dalam mengelola kelas, sehingga memungkinkan terjadinya kekacauan dan anarki di kelas. Tidak memiliki aturan dan struktur yang jelas, serta seringkali menetapkan aturan dan hukuman yang tidak konsisten. Guru tipe ini cenderung menggunakan ancaman dan emosional serta meremehkan proses pembelajaran. Sama halnya dengan tipe guru Tembok Bata (Brickwall Teacher), guru tipe yang kedua ini juga tidak memperhatikan kebutuhan siswa akan pengembangan kemampuan Inner Discipline-nya.
  3. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher). Guru tipe ketiga ini adalah guru yang senantiasa berusaha memberikan dukungan dan menyediakan struktur yang diperlukan siswa untuk menyadari keunikan dan mengenal diri yang sejatinya. Proses pembelajaran berlangsung secara demokratis dengan aturan yang sederhana tetapi jelas. Guru tipe yang ketiga ini selalu berusaha mendukung siswa untuk melakukan kegiatan yang kreatif, konstruktif dan bertanggung jawab, memotivasi siswa agar dapat melakukan semua hal yang mereka miliki bisa. Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) berupaya membelajarkan siswa bagaimana berpikir dan memperoleh kepercayaan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) inilah memungkinkan terjadinya pengembangan Inner Discipline siswa.

Coloroso berkeyakinan bahwa dalam berhubungan dengan siswa, seorang guru seyogyanya dapat membantu siswa untuk mengembangkan Inner Discipline-nya. Dalam arti, membantu siswa agar mampu menunjukkan perilaku yang kreatif, konstruktif, kooperatif, dan bertanggung jawab, tanpa harus diatur dan dikendalikan orang lain. Siswa dibelajarkan untuk menerima masalah yang dimiikinya, mengambil tanggung jawab penuh atas masalah perilakunya dan dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya, bukan atas dasar rasa takut tetapi berdasarkan pemahaman dan kesadaran bahwa memang itulah hal yang benar untuk dilakukan (it is the right thing to do).

Teori Inner Discipline meyakini bahwa setiap siswa pada dasarnya terhormat, oleh karena itu sudah sepatutnya mereka menerima perlakuan secara terhormat dan setiap saat dapat diperlakukan dengan tanpa harus melukai kehormatan dirinya. Langkah-langkah penerapan Inner Discipline dikembangkan dalam 6 (enam) tahapan, yaitu: (1) identifikasi dan mendefinisikan masalah; (2) menentukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya; (3) mengevaluasi pilihan-pilihan yang tersedia; (4) memilih salah satu pilihan yang ada; (5) membuat sebuah rencana dan melaksanakannya; (6) melakukan retrospeksi, dengan mengevaluasi ulang masalah dan solusi yang dijalankan.

Menurut Coloso, keenam langkah ini telah mencakup 3 R tentang Disiplin, yaitu: (1) Restitusi: memperbaiki kerusakan perilaku dan kepribadian yang dialami siswa ; (2) Resolusi: menentukan cara untuk tidak membiarkan perilaku itu terjadi lagi atau dengan kata lain siswa dapat menerima apa yang yang telah dilakukannya dan memulai hal baru; dan (3) Rekonsiliasi: proses penyembuhan, siswa dibelajarkan untuk menghormati rencana restitusi yang telah disepakati, dan berkomitmen untuk berbuat sesuai dengan resolusi.

Menjadi Guru Tulang Punggung (Backbone Teacher) yang mampu mengimplementasikan Inner Discipline sebagaimana disarankan oleh Coloso tentu bukan hal yang mudah, apalagi bagi guru-guru yang sudah kadung menjadi menjadi Guru Tembok Bata atau Guru Ubur-ubur, tetapi barangkali itulah pilihan yang paling memungkinkan dalam konteks pendidikan saat ini, yang mengedepankan proses pemanusiaan manusia.

Sumber