Ahmad Dahlan : Ideolog Islam Berkemajuan
Ahmad Dahlan merupakan pencetus pertama Ideologi Islam Berkemajuan. Hal ini dapat ditemukan pada statute Muhammadiyah pertama kali tahun 1912. Dalam frasa tujuan Muhammadiyah tercantum kata “memajukan” yaitu, “..Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanya” Menurut Haedar Nashir, (2011) Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Menururtnya, KH. Ahmad Dahlan, sering menyebut agar menjadi Kyai yang maju.
Selain itu, lanjut Nashir mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk watak Islam Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan yakni pikiran-pikiran dan langkah-langkah dalam meluruskan kiblat sampai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pranata amaliah sosial yang bersifat modern. Bukti lain mendukung argumentasi bahwa Islam Berkemajuan sudah menjadi diskursus awal Muhammadiyah (era K.H. Ahmad Dahlan) adalah termaktubnya dalam suara Muhammadiyah awal tahun I nomor 2 halam 29 dalam huruf yang berbahasa jawa yang berarti, “..Karena menurut tuntunanan agama kita Islam, serta sesuai dengan kemauan zaman kemajuan”.
Islam Berkemajuan pada Muhammadiyah di masa KH. Ahmad Dahlan merupakan penerjemahan Islam atau obyektivikasi ajaran Islam dalam bentuk gerakan pencerahan, pemajuan, serta percerdasan kehidupan umat Islam. Asep Purnama Bahtiar (2011) menuliskan bahwa pada diri KH. Ahmad Dahlan, ideologi kemajuan itu menjadi modus penerjemahan nilai-nilai Islam atau obyektifikasi ajaran Islam ke dalam bentuk agenda pencerahan, pemajuan, dan pencerdasan kehidupan umat serta kerja-kerja kemanusiaan lainnya yang inklusif. Alam pikiran modern yang dibangun dalam Persyarikatan dengan nilai-nilai prinsipil yang dipegang kukuh. Dalam prinsip menghasilkan tradisi tindakan dan etos kerja sebagai wujud riil dan amal saleh dari ajaran Islam. Risalah pergerakan Muhammadiyah sumbunya adalah ideologi kemajuan atau Islam yang berkemajuan.
Watak ideologi Islam Berkemajuan Muhammmadiyah awal (KH. Ahmad Dahlan) berwatak inklusif. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ahmad Nur Fuad dalam penelitiaanya. Menurutnya, KH. Ahmad Dahlan dalam memahami agama bersikap terbuka dan toleran. Lanjut Nur Fuad mengatakan, KH. Ahmad Dahlan menghargai kenyataan bahwa bahwa pemikiran keagamaan tidaklah tunggal. Pemahaman terhadap keagamaan sangat beragam. Bukti keterbukaan KH. Ahmad Dahlan dapat dilihat dalam catatan dari muridnya K.R.H. Hajid sebagai berikut:
“Orang yang mencari barang yang hak kebenaran itu perumpamaanya demikian: seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam Kitab Suci al-Quran dan beragama Kristen membawa Kitab Bybel, kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Lagi pula pembicaraanya dengan baik, tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterusnya. Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi sebagian besar dari manusia hanya menurut anggapan-anggapan saja, diputuskan sendiri. Mana kebiasaan yang milikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya.”
Bagi KH. Ahmad Dahlan dalam memahami agama tidak boleh doktrinal atau berdasarkan asumsi semata tanpa argumentasi. Bagi KH. Ahmad Dahlan, sebuah keyakinan tidak berangkat dari meyakini baru kemudian membangun argumentasi. Akan tetapi dalam menemukan keyakinan berangkat dari argumentasi. Argumentasi menjadi landasan menemukan keyakinan.
Dengan demikian, dalam menyusun argumentasi di sinilah pentingnya penggunaan akal. Sehingga bagi KH. Ahmad Dahlan, akal menjadi hal sangat penting dalam memahami ajaran agama. Al-quran dan Hadis, perlu ditelaah secara seksama dengan akal. Dalam tulisannya, Tali Pengiket Hidoep Manoesia, KH. Ahmad Dahlan membicarakan secara spesifik perihal watak, pendidikan, serta kesempurnaan akal.
Watak dasar dari akal bagi KH. Ahmad Dahlan adalah menerima pengetahuan dan memang pengetahuan itu menjadi kebutuhan dari akal. Perihal watak dasar akal, KH Ahmad Dahlan, mengumpamakan sebagai sebuah biji yang tertanam dalam bumi kemudian tumbuh menjadi pohon yang besar. Untuk tumbuh menjadi besar biji tersebut perlu untuk disirami. Begitupun akal agar dapat tumbuh dari potensialitas menuju aktual perlu disirami dengan pengetahuan.
Sedang untuk pendidikan akal, perlu diberikan ilmu mantiq (logika) “Sehabis habisnja pendidikannja akal, itoelah dengan ilmoe mantiq…” demikian menurut K.H Ahmad Dahlan yang tertulis dalam Tali Pengiket Hidoep Manoesia. Mantiq atau logika adalah ilmu yang mengajarkan perihal tata cara membangun proposisi dan argumentasi yang benar. Atau dalam pengertian yang biasa digunakan logika (mantiq) merupakan ilmu yang mengajarkan tata cara berpikir yang benar.
Perhatian khusus pada akal dalam memahami ajaran agama Islam oleh KH. Ahmad Dahlan, merupakan salah satu pondasi utama Islam Berkemajuan yang kemudian dirankum dengan istilah rasionalisme. Bila merujuk pada penelitian pustaka dan dokumen yang dilakukan oleh Hamzah.F (2016), tekait dasar pemikiran Islam Berkemajuan Muhammadiyah 1912-1923 (kurun hidup KH. Ahmad Dahlan). Menurutnya, ada tiga peta dasar Islam Berkemajuan yakni: Rasionalisme; Pragmatisme; dan Vernakularisasi.
Rasionalisme merupakan etos dasar Islam Berkemajuan yang terekspresikan secara menonjol dalam bentuk ijtihad. Rasionalisme adalah menegakkan kembali peran dan fungsi akal secara bebas dalam berijtihad. Untuk lebih lengkapnya ihwal ijtihad menurut Hamzah.
Dasar Islam Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan yang kedua menurut Hamzah. F adalah pragmatisme. Pragmatisme di sini merujuk pada makna aslinya yakni sesuatu harus fungsional. Dengan demikian, Islam Berkemajuan adalah Islam harus terlibat dalam penyelesaian problem umat seperti kebodohan, kemiskinan, kekolotan dalam hal ini segala bentuk keterbelakangan.
Hal yang paling nyata atau konkrit pragmatisme dalam Muhammadiyah yakni KH. Ahmad Dahlan mendorong lahirnya sekolah-sekolah klasikal yang memadukan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Langkah ini, setidaknya merupakan kritik secara tidak langsung kepada model sekolah tradisional (pesantren) yang tidak terbuka kepada pengetahuan non agama. Sebab pengetahuan non agama cenderung dianggap kafir pada saat era KH Ahmad Dahlan. Sisi lain, kritik terhadap sekolah klasikal model kolonial yang minus pengetahuan agama. Sebab pengetahuan agama hal tidak penting dipelajari dalam sekolah.
Vernakularisasi merupakan ciri yang ketiga dasar Islam Berkamajuan Muhammadiyah awal. Vernakularisasi adalah upaya KH. Ahmad Dahlan mengkontekstualisasikan Islam dengan kebudayaan. Anggapan bahwa Muhamamadiyah merupakan gerakan Islam yang memberangus kebudayaan memestikan untuk ditinjau kembali. Mengutip Mitsuo Nakamura (peniliti Muhammadiyah) membantah bahwa Muhammadiyah dalam kasus pembaharuan di Jawa, bukan berjuang untuk melakukan eksklusi terhadap tradisi yang telah ada dan dilakonkan dalam masyarakat lokal.
Ahmad Najib Burhani mengemukakan bentuk Vernakularisasi KH. Ahmad Dahlan. Di antara bentuk tersebut: Pertama, aturan perilaku yakni di mana KH. Ahmad Dahlan sangat menghormati tata perilaku abdi dalem. KH. Ahmad Dahlan sowan ke Keraton untuk menemui Sultan dalam hal penentuan Ramadan dengan metode hisab.
Kedua, bahasa. KH. Ahmad Dahlan menganjurkan untuk melakukan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa selain bahasa Arab. KH. Ahmad Dahlan mengambil posisi di antara perdebatan perihal penerjemahan tersebut. Ketiga, busana.Dalam hal berpakaian tokoh Muhammadiyah memadukan berbagai model. Tokoh-tokoh Muhammadiyah memadukan blangkon dengan jas eropa.
Vernakularisasi Muhammadiyah bukanlah sinkritisme akan tetapi upaya meminjam tradisi yang hidup dalam rangka mentransformasikan kesadaran agama. Vernakularisasi adalah upaya rasionalisasi dan transformasi budaya. Setiap budaya harus ditempatkan dalam posisinya sebagai budaya. Budaya tetap perlu dipraktikkan sejauh tidak menyimpang dari akidah Islam. Selain itu, selama budaya tidak menciptakan beban sosial bagi yang melakukannya.